DETIK-DETIK ITU,,, (part II)

Rabu, 22 Desember 2010






Sungguh, wanita itu ingin sekali marah. Sungguh hatinya sekarang teramat panas. Ingin sekali dia mengumpat kasar namun ditahannya. Apan-apan ini?

Ayah yang sudah melihat gelagat tak nyaman dari anaknya itupun segera memegang tangan anaknya tersebut pelan dan tersenyum mendamaikan. Ayah menggeleng pelan isyarat menyuruhnya untuk menahan amarah.

“Sudahlah Naura, jangan! Jangan kau tampakkan kemarahanmu itu!” pintanya kemudian.

Naura memandang ayahnya protes. Ayah? Bisa-bisanya ayah menerima begitu saja perlakuan orang-orang itu. Sungguh Naura tak dapat menerimanya. Ini menyangkut keyakinan ayah, menyangkut iman.

“Kaukan sudah tahu bagaimana keluarga nenek?” katanya lagi menenangkan. Naura hanya diam walau hati masih saja terus protes.

“Jagalah hubungan keluarga kita!” kata ayah lagi kemudian. “Yakinlah hati ayah tidak apa-apa! Ayah hanya bisa tertawa dalam hati melihat semuanya!”

Wanita yang bernama Naura itu memandang ayahnya tak tega. Ayah? Tidak ada kerelaan sama sekali dalam hatinya jika ayahnya dilakukan ritual aneh macam itu. Ah, sebenarnya Naura juga tidak terlalu tahu bagaimana asalnya hingga keluarga neneknya yang dikampung itu memvonis ayahnya yang tengah terkena guna-guna. Bukankah sudah jelas apa yang dikatakan dokter wanita itu beberapa hari yang lalu? Penyakit ayah adalah kanker hati stadium 3.

Mimpi Itu????

Sabtu, 18 Desember 2010



“Aku adalah Tuhan!” Akunya tiba-tiba. Aku yang saat itu masih konsentrasi menunggu bis pulang kini tersentak kaget, samar-samar kudengar bapak tua itu mengaku Tuhan.

“Akulah Tuhanmu!” akunya tiba-tiba.

Sebenarnya tak jadi masalah jika dia mengaku Tuhan, akan kuanggap dia gila, tapi masalahnya dia tengah mengajaku bicara. Jadi initinya dia sedang mengaku bahwa dirinya Tuhan kepadaku dan bukan kepada orang samping kiri, kanan, depan dan belakangku.

Mendengar pengakuannya tentu saja aku melongo sesaat dan kemudian langsung tertawa terbahak-bahak. Wajah itu memang sudah mulai keriput. Beberapa rambut putih muncul dari dagunya. Dan dengan wajah yang datar tiba-tiba dia mengakui dirinya sebagai Tuhan. Siapa yang akan percaya? Apalagi di zaman yang sekarang ini.

DETIK-DETIK ITU,,, (part I)




Gerimis, setetes demi setetes, air itu jatuh dari langit. Aku melihatnya, di dalam kegelapan malam, garis-garis tipis yang samar berjatuhan dengan cepat ke tanah. Jalan di depanku begitu lebar, namun jalan itu kian mengecil dan semakin tak kelihatan seiring jauhnya pandangan.
Telepon tiba – tiba berdering, sedikit mengejutkan relung hatiku. Namun aku tak begitu peduli, tidak ada rasa penasaran siapakah yang menelpon saat itu, tapi tubuh tentu saja tetap merspon dan akupun mengangkatnya.
“Assalamu`alaikum,,,” sapaku.
“Dek, ayah meninggal!” suara kakak perempuanku di seberang sana.
Meninggal? Aku hanya meresponnya dengan biasa. “Oh…” ayah meninggal ya, batinku. Tak ada perasaan sedih maupun kecewa, semua hanya biasa seakan kabar itu tak ada.

Mataku perlahan membuka, aku melirik jendela. Sepertinya hari mulai terang dan jendela yang mulai terang itu sempurna mengejutkanku. Pertama kali yang kuingat, jelas aku belum menunaikan sholat subuh dan hari sudah mulai meninggalkanku untuk menunaikannya. Sudah berapa lama aku tidur? Sebegitu lelahkah aku sehingga aku bangun kesiangan seperti ini? Tak pikir panjang lagi aku langsung beranjak dari kasur, namun belum sempurna ku menjauh dari kasur, handphoneku tiba-tiba berdering.
My sister `1 memanggil
Kaki yang sebelumnya hendak bergerak kini seketika terkunci. Deg? Jantungku berdetak kencang. Telepon dari kakak? Otakkupun kini berputar, mengembalikan beberapa memori yang belum lama lewat. Bukankah baru saja aku bermimpi kakakku menelpon? Bukankah baru saja aku bermimpi kakakku mengabariku kabar buruk? Bukankah baru saja aku bermimpi kakakku mengabarkan bahwa ayahku meninggal? Akupun langsung ciut ditempat. Sesaat gagang telepon itu seperti monster yang siap menerkamku. Ada apakah gerangan kakakku menelpon? Akankah mimpi yang barusan kualami menjadi kenyataan untuk detik ini juga?
Lama aku memandang handphone itu hingga akhirnya memberanikan diri mengambilnya. Dengan rasa cemas akupun memencet tombol jawab. Aku meneguk air liur hingga akhirnya menyapa kakaku yang ada diseberang sana.
“Assalamualaikum,”
“Dek?” suara kakak perempuanku diseberang sana.
“Ya?” aku mejawabnya lagi dengan hati berkecamuk, tanpa sadar akupun mondar mandir ketakutan, takut ada kabar buruk yang keluar dari suara seberang itu.
“Gimana kabarnya? Lama nih nggak nelepon!”
Aku masih memasang kuping tajam dengan hati yang amat gelisah samapai lupa bahwa aku belum menunaikan sholat subuh. Aku menjawab setiap pertanyaan dan sapaannya. Namun, hatiku terus gelisah takut mimpi buruk itu benar–benar terjadi hingga akhirnya kuberanikan untuk menanyakan kabar ayah.
“Ngomong-ngomong gimana kabar ayah?” tanyaku kemudian memberanikan diri menanyakannya, karena kudengar ayahku beberapa hari lalu masuk rumah sakit dan aku ingin memastikan bahwa tak ada hubungannya kejadian ini dengan mimpi yang barusan kualami.
“Alhamdulillah, ayah sudah keluar dari rumah sakit, tapi keadaannya masih sedikit lemah. Adek do`ain aja ya biar ayah cepat sembuh. Jangan lupa sholat Tahajjud, sholat hajat biar ayah disembuhkan!”
Serasa lepas dari maut. Hatiku akhirnya bisa benar-benar plong mendengarnya. Mimpi pasti hanyalah bunga-bunga tidur saja.

~~~~~~~~~~

“Ayahmu ini dibawa pulang saja, ada masa dihatinya dan sudah parah,” kata dokter wanita itu menjelaskan, “Sudah, bawa ayahmu pulang dan penuhi segala keinginannya!” tambahnya lagi seakan-akan harapan itu memang sudah tidak ada. “Saya akan berikan obat rawat jalan untuk 11 hari!”
Kedua wanita bersaudara yang sedang konsultasi dengan dokter itupun saling pandang hingga akhirnya sibuk dengan rasa berkecamuk dalam hati. Hati mereka perih dan rasanya air mata itu sudah hendak jatuh di detik itu juga.

Catatan untuk Morengku,, yang kurindukan,,



Aku tak ingat kapan tepatnya menemukanmu,, tapi yang jelas aku menemukanmu saat masa-masa 17 hari bersama ayah. Ibu dan kakak kedua pergi ke Makassar mengurus kakakku tersebut yang mau kuliah. Saat itu diriku merana. Bayangkan saja, selama 17 hari segalanya harus di urus sendiri. Yang biasanya makan masakan ibu kini harus ikhlas makan seadanya yang dimasak oleh ayah. Paling sering mie instan campur telor buatan ayah. Kalau lagi malas masak alias nggak bisa masak, warung depanlah solusinya. Beli Sate san Sop Pak Matseman.

Waktu itu aku adalah seorang anak SD yang manja, anak bungsu yang tahunya cuman cuci piring. Itupun maunya cuci piring cuman sekali sehari. Makan dimasakin ibu, baju dicuciin, untungnya masih nyadar diri nyetrika baju sendiri. Alhasil memang nggak bisa apa-apa. Ayahpun sama, yang dia tahu hanya mengurus pekerjaannya, sedang berjuang menghidupkan kembali sekolah yang mau mati. Beruntung ada kakak yang datang seminggu sekali ke rumah, ngurusin kami yang nggak bisa apa-apa. Itupun ibu sempat shock saat kembali ke rumah setelah 17 hari di Makassar, dapur kotor tak karuan, piring dan baju kotor bertumpuk antri minta dicuci. Semua adalah ulahku dan ayahku.

17 hari yang mungkin membuat rumah kami menangis karena tak diurus dengan baik. Saat itulah kau datang. Saat matahari mulai terbenam, saat kami harus menutup semua pintu dan jendela, saat kami harus bersiap-siap sholat maghrib. Dengan warna bulu unik dan tingkahmu yang lincah, tanpa permisi terlebih dahulu, kaupun ngeloyor masuk ke rumah membuat kami berteriak girang.

“Ya ampun, lucu sekali!”

Aku tahu, saat itu kau senang karena dibilang lucu. Kakakkupun langsung mengelus bulumu lembut dan mengangkatmu.

“Kucing Moreng!” seru ayahku waktu itu sambil tertawa saking tak kuatnya melihat warna bulumu yang memang coreng moreng tak beraturan.

“Namanya Moreng!” akhirnya kata inilah yang kulontarkan.

“Jadi namanya Moreng?”

Saat itulah kami sepakat menamaimu Moreng. Waktu itu kucing-kucing kami kebetulan sudah tidak ada lagi. Beberapa mati dan meninggalkan satu kucing jantan besar yang sepertinya tidak betah di rumah, namanya Kimpus yang hanya datang sesekali saja ke rumah.

Waktupun berjalan, kuhabiskan hidup bersamamu Moreng. Aku yang notebenenya waktu itu tidak berani tidur sendiri selalu menjemputmu diam-diam di tengah malam dan membawamu masuk ke kamar. Lucu memang, takut tidur sendiri akhirnya minta ditemanin tidur sama seekor kucing sepertimu. Tapi bagiku kaulah penyelamat hidupku dari ketakutan tidur sendiri waktu itu. Walaupun sekarang aku jadi berpikir, apa memangnya yang kutakutkan saat tidur sendiri waktu itu? Hantu? Ah, ini dia karena kebiasaan kakakku menakutiku soal hantu. Tapi apa yang dilakukan kakakku memang ada hikmahnya bagiku. Jika nanti aku punya anak, aku tak akan mau melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan kakakkku padaku. Menakuti anak kecil dengan hantu. Ini akan membuatnya jadi takut dengan hantu. Kurasa kakakku tersebut harus minta maaf padaku soal ini.

Anak SD itu sangat bahagia dengan kehadiranmu Moreng, tetap akan bahagia walau kau sudah semakin tua seiring bertambah dewasanya gadis itu. Walau kau sering ditinggal gadis itu pergi untuk sekolah di luar kota bahkan luar pulau, dia tetap merindukanmu. Walau kau tak selucu saat kau kecil, dia tetap merindukanmu. Merindukan suara mengeongmu saat kau marah dipegang, merindukan sikap manjamu saat melihat gadis itu membawakan makanan, merindukan lincahnya dirimu saat diajak bermain-main dengan seutas tali.

7 tahun lamanya, disana ada suka duka. Suka saat melihat anak-anak kucing yang kau lahirkan sehat dan duka saat harus menguburkan satu persatu anak-anakmu yang mati.

Kau adalah kucing terunik yang pernah kutemui, kucing pemarah yang pernah kutemui dan kucing yang tak pernah mencakar dan melukaiku.

Ah Moreng, dimanakah kau sekarang berada? Masih hidupkah? Atau sudah mati? Jika kau masih hidup, semoga kau baik-baik saja dan mendapat majikan baru. Jika kau sudah mati, kuharap kau tidak pernah menyesal telah menjadi bagian dari keluargaku. Maafkan kami Moreng, bukan maksud kami meninggalkanmu di rumah yang dahulu, tapi kamulah yang memilih untuk tidak ikut kami pindah rumah. Kau sembunyikan anak-anakmu hingga kami tak tega untuk membawamu pergi sementara anak-anakmu yang baru lahir menunggumu di tempat yang kau sembunyikan. Saat kami kembali ingin menjemputmu, kaupun sekarang hilang entah kemana.

Kucing tuaku yang malang yang tak sebahagia dulu saat ayah masih hidup. We always Love you,,T.T,, hiks, hiks, hiks,, walau kau tak membaca tulisan ini Moreng, paling tidak situs ini menjadi saksi atas rindunya aku padamu,,,

Dalam kerinduan yang sangat saat melihat kembali photo-photo Moreng masa dahulu kala,
Banjarbaru, Juli 2010

Saya kembali

Seakan merasa telah mendzholimi blog, maka akhirnya sayapun memutuskan kembali mengurusnya. Karena begitu gapteknya saya, lupa paswordnya lalu benar-benar meninggalkannya begitu saja. padahal mbah blog dan mbah gmail sudah sangat baik hati sekali menyediakan fasilitas jika lupa pasword. ah, diriku ini,,

Blog oh my blog,, sesungguhnya dirimu punya kenangan tersendiri dihatiku,, hho,, membuatmu demi tugas TIK,, sangat melekat dihati.

Tapi tenang my blog,, sekarang diriku niat mengurusimu, kali ini bukan karena tugas TIK lagi, bukan demi nilai itu lagi, tapi demi diriku sendiri (heee??? apa bedanya jadinya??)

Ah, tak pentinglah itu my blog,, sebenarnya diriku hanya ingin menulis dan terus menulis,, karena diriku sering terinspirasi dari tulisan orang-orang,, sp tw apa yang kutulis dapat menjadi inspirasi juga bagi yang membaca, berharap tulisan itu bermanfaat walau minimal manfaatnya adalah menghibur,,

baiklah, sebenarnya dalam posting ini saya cuman ingin mengatakan

OKE<< SAYA KEMBALI<<<<<

Mengenai Saya

Foto saya
Apalah arti sebuah nama, tapi ternyata nama sangatlah berarti. siapa nama anda dan bisa jadi kehidupan anda adalah seperti nama anda,,,

Entri Populer

Followers

Daftar Blog Saya