DETIK-DETIK ITU??? (end)

Rabu, 05 Januari 2011



Wajah-wajah itu berderai air mata, satu sama lain saling mengelus pundak menenangkan. Wanita tua yang kukenal sebagai ibuku itu menutup wajahnya terisak di depan rumahku. Di samping kanannya kak Naura, kakak perempuanku yang pertama memeluknya erat. Disamping kirinya, kak Evi, kakak keduaku mengelus pundak ibu berdiri tak kalah isak.

Aku melangkah gontai, memandang ketiga wanita penting dalam hidupku itu kosong. Aku melihatnya biasa, tak ada perasaan khawatir, perasaan sedih, panik dan segala macamnya. Seperti memandang pemandangan tanpa makna hingga aku menghampiri mereka, tak ada perasaan apapun yang muncul.

Mereka bertiga terus menangis. Aku hanya melihatnya sebagai tontonan biasa untuk kemudian melihat mobil didepanku yang siap meninggalkan rumah. Di dalamnya, seorang pria 50 tahunan sibuk memeriksa stir mobil dan kemudian menyalakan mesin. Wajahnya teduh, kontras dengan wajah diluarnya yang berderai air mata.

Ketiga wanita itu masih menangis dan aku memandang ayahku yang berada di dalam mobil dengan tatapan kosong. Beliaupun memandangku dan kemudian menyunggingkan senyum penuh arti. Senyum itu masih bertahan sampai mobil itu akhirnya mundur dan kemudian melaju pergi entah kemana.

Handphone mungilku tiba-tiba bergetar, sedikit membuyarkan lamunanku tentang mimpiku tadi malam. Tanganku lantas mengambil benda haram di asramaku tersebut dengan cepat.
Mama Sayang

Aku memencet salah satu tombol dan memberikan salam “Assalamualikum,” sapaku.

“Waalaikumsalam, kapan pulang nak?”

Aku terdiam. Pertanyaan ini sebelumnya sudah pernah dilontarkan dan aku sudah menjawabnya dengan jelas tanggal 9 januari. Tapi mereka seperti tak pernah mendapatkan kepastian tentang kapan kepulanganku ke rumah.

Aku ingin sekali-kali memperlihatkan nilai rapot SMAku kepada mereka. Selama ini karena rumahku jauh, aku sering langsung pulang usai ujian tanpa menunggu rapot dibagikan. Pengasuh asramalah yang biasa mengambilkan dan mengevaluasi semua hasil belajarku.

“Kan sudah Alisya bilang tanggal 9!” jawabku.

“Tidak bisa dipercepat?”

Aku diam. Ada perasaan tidak enak muncul di dalam hatiku.

“Kenapa harus dipercepat? Nanti nggak bisa liatin rapot Alisya dong!” jawabku kemudian.

“Pulang cepat saja ya, bilang ke pengasuh asrama ayah sakit!”

“Memangnya ayah sakit apa sih?” tanyaku kemudian penasaran. Bukankah katanya sakit biasa? Lantas apakah sakit biasanya ayah itu harus kujadikan alasan kepada pengasuh asramaku?

Kudengar suara sahut-sahutan di seberang sana dan tiba-tiba saja kakakku menyahut.

“Nggak bisa pulang cepat ya?” suara kak Naura di seberang sana.

Ah, kenapa pertanyaanku tidak dijawab ibu?

“Ayah sakit apa?” kini aku jadi sewot.

“Sakit panas biasa, nggak sembuh-sembuh tuh!” jawab kak Naura kemudian santai.

“Nggak bisa pulang cepat nih? Rapotnya ditinggal aja lagi nggak papa, Insya Allah tahu kok nilainya bagus!”

Aku diam, entah mengapa aku merasa ada hal lain yang tidak kuketahui. Dalam hati sebenarnya lega mendengarnya. Ayah ternyata hanya sakit biasa. Tapi entah mengapa hatiku gelisah dan aku tak tahu apa yang kugelisahkan.

“Mau bicara sama ayah dek?”

Deg? Jantungku tiba-tiba saja berdebar. Bicara dengan ayah? Sejujurnya aku jarang bicara dengan ayah. Belum aku mengiyakan, handphone itupun kini sudah berpindah tangan ke tangan ayahku.

“Alisya,” suara ayahku diseberang sana, terdengar sangat parau.

Tanganku bergetar mendengarnya, ada hal yang hilang dari ayah. Sungguh, hatiku benar-benar menjadi tidak karuan setelahnya. Ada yang kurindukan namun hilang entah kemana dan aku tak tahu apakah harapan kembalinya ada. Aku juga tak tahu mengapa aku bisa gelisah tak menentu seperti ini. Ada apa? Mengapa hatiku sangat gelisah?

“Ayah,” aku menyahut. Entah mengapa tiba-tiba hatiku berdenyut sakit. Suara itu bukan suara yang seperti biasanya. Suaranya terdengar amat lemah seperti bukan ayahku yang sesungguhnya. Suara ayah biasanya lantang dan bersemangat. Tapi suara ini benar-benar begitu lemah.

“Ayah lagi sakit Sya,” kata beliau kemudian.

Aku diam tak sanggup berkata karena tiba-tiba saja rasa sedih dikelilingi kecamuk hati gelisah menyelimutiku.

“Doakan ayah biar cepat sembuh ya,”

Ayahku yang periang, ayahku yang semangat, ayahku yang lantang, kemanakah kau? Mengapa suaramu diseberang begitu lemah tanpa daya?

“Sya?” suara lembut namun lemah itu kembali terdengar. Mungkin sebuah pertanyaan atas kediamanku yang lama.

Aku masih diam dari seribu kata. Air mataku meleleh tiba-tiba tanpa kuminta.

“Iya ayah,” jawabku lirih dan terdengar sangat parau.

Di seberang sana ayahku diam sejenak.

“Sudah ya, ayah mau istirahat dulu!” kata beliau lagi dan kemudian handphone itu sudah berpindah tangan di tangan ibuku.

Aku menyeka air mataku dan berusaha menutupi tangisku yang mulai muncul. Benar-benar pembicaraan yang hambar dan aku menyesalinya. Apa ayah menyadari kesedihanku yang tiba-tiba muncul?

Aku rindu ayahku yang kuat.

~~~~~~~~~~

Seorang gadis muda melambaikan tangannya padaku di antara kerumunan orang-orang yang sedang menunggu. Gadis itu tidak lebih tua dari kakakku yang pertama. Tapi status dia adalah adik bungsu ibuku, dia adalah tanteku.

Aku lega melihatnya di tempat kedatangan bandara ini dan akupun langsung menghampirinya. Akhirnya aku pulang sebelum tanggal 9 januari dan aku sudah tiba di kota tempat aku dilahirkan. Masih kuingat jelas telepon tadi malam yang membuatku ciut seketika, membuat hatiku kacau tak beraturan, membuat Kristal bening mata jatuh tak menentu, membuaku linglung tak tau arah.

“Sya, segera beli tiket! Kamu harus pulang besok, tidak boleh ditunda!” tiba-tiba kakakku berkata dengan paniknya ditelpon waktu itu.

“Ayah kritis dan kita tak dapat menunggu lama! Segera pulang!”

Aku belum sempat bertanya apapun, tiba-tiba kakakku tanpa memberi ampun mengabarkan berita yang sangat buruk bagiku. Awalnya aku tak percaya, lama aku diam mencerna setiap kata-katanya. Tapi suara dengan rasa penuh harap meminta pulang itu membuatku seketika kaku. Kata-kata kritis darinya membuatku terbayang sebuah tempat tidur yang di atasnya seorang terbaring lemah terkulai tak berdaya. Seperti itukah ayahku saat ini yang ternyata kembali masuk rumah sakit.

Hanya bisa diam menahan hati yang perih, dan hanya bisa mengiyakan setiap perintahnya.

“Hei, kenapa matamu merah?” tanteku menepuk pundakku.

Aku sedikit tersentak dan kemudian kembali menghapus air mataku yang dari tadi meleleh tanpa kendali.

“Jangan menangis, apa yang ditangisi? Ayahmu tidak apa-apa Alisya!”

Aku menatap tanteku tersebut setengah tak percaya namun hati begitu sumringah. Benarkah yang dikatakannya? Ayah tidak apa-apa? Setahuku ayah memang hanya sakit biasa, jadi pasti beliau hanya opname biasa di rumah sakit.

Di depan sana, pamanku sudah menunggu. Aku segera mengikuti tanteku dan kami menaiki mobil avanza hitam. Mobil ini mengingatkanku pada mimpi beberapa hari yang lalu. Mimpi melihat ayah yang menyetir dengan senyum mengambang lebar lantas kemudian pergi meninggalkanku di samping kakak dan ibu yang sedang menangis. Lalu apa arti mimpi itu? Bolehkah sekarang aku memikirkan hal yang tidak-tidak walau aku hanya tahu ayahku sakit biasa? Bolehkah aku mengira yang tidak-tidak karena aku juga memikirkan mimpiku yang lalu-lalu?

“Ayahmu baik-baik saja!” Tanteku kembali menepuk-nepuk pundakku dan aku hanya bisa tersenyum penuh paksa.

~~~~~~~~~~

“Ayahmu baik-baik saja!”

Aku sudah benar-benar memakan omongan itu. Sesungguhnya hatiku sudah amat begitu lega mendengarnya. Sesungguhnya harapan itu sudah kukira ada. Tapi apa nyatanya? Setelah sampai di rumah sakit aku benar–benar kecewa dengan perkataan tante Emi. Ayah bukannya baik–baik saja melainkan terbaring di tempat tidur rumah sakit dengan infus dan selang–selang yang begitu ruwet.

Aku yang tiba dipintu kamar VIP Aster D.12 langsung lemas tak berdaya. Ayahku? Aku melihat ayah yang sudah terbaring tak sadarkan diri. Kukira aku masih sempat untuk berbicara dengannya. Kukira kata kritis itu hanya sebuah keadaan lemah yang biasanya.
Ibu yang melihatku tiba tak kuasa menahan tangis lantas memelukku erat. Dia pasti sudah menduga-duga perasaanku dan sangat mengerti bagaimana perasaanku hingga air matakupun tak dapat lagi kutahan. Aku menangis terisak di pangkuannya. Baru seminggu yang lalu aku bercakap dengan ayah ditelepon dan baru 6 bulan yang lalu beliau mengantarkanku ke bandara. Kini, 6 bulan berlalu aku mendapatinya tanpa bisa berucap sepatah katapun padaku.

Begitu teganya mereka yang berkata padaku bahwa ayah hanya sakit biasa. Apa ini namanya sakit biasa?

Ah, aku juga baru tahu kalau ternyata penderitaan ayah sudah berlangsung satu bulan lamanya. Tak ada yang mau memberitahuku tentang hal ini. Penyakit ayah adalah kanker hati stadium 3.

Apalah lagi yang bisa kukata selain berdoa padaNya. Aku melihat wajah ayah yang begitu menderita. Apalah yang bisa kukata selain menenangkannya kalau ia kuat. Tapi akupun hanya manusia biasa yang mempunyai ketakutan luar biasa.

“Ya Allah, jika engkau ingin mengambilnya kembali dari kami, kami ikhlas namun kami akan sangat bersyukur kepadamu jika sekiranya Engkau menyembuhkannya dari penyakitnya!”

Doa yang sebenarnya aku sedikit tahu apa kehendakNya.

Usai sholat subuh, tepat pukul 6.30, ruang Aster D.8 itu menjadi saksi bisu duka banyak orang. Aku tak tahu sudah berepa banyak orang yang disaksikan oleh ruangan ini. Yang jelas, 6.30 itu menjadi waktu perpisahan kami dengan ayah.

Waktu itu mulut ayah tiba-tiba komat-kamit tak jelas. Matanya masih terpejam, namun mulut itu bergetar, bergerak dan aku dapat membacanya. Dzikir? Ya, ayah berdzikir membuatku ingat pada slide masa lalu, di saat aku tiba-tiba ciut ditegur karena mengganggunya yang sedang konsentrasi berdzikir dipagi hari. Sebuah kebiasaan yang ternyata berhasil dibawanya sampai di ujung penghabisan kerongkongannya.

Aku hanya tersenyum sesak melihatnya hingga akhirnya kusadari ternyata malaikat maut tak bisa ditolerir. Disamping ayah, aku hanya bisa memegang Al-Quranku bergetar dengan air mata yang terus berderai, dengan bacaan yang sudah tak terdengar jelas.

Selamat jalan ayah, selamat, kau telah lepas dari kehidupan dunia yang penuh tipu daya.

Siapa yang pernah menyangka maut begitu cepatnya menghampiri. Kita tak akan pernah tahu kapan maut akan menjemput kita.

Tenang ayah, sesungguhnya kamipun pasti akan menyusulmu.


“Dan tiadalah khidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main main, dan sesungguhnya negeri akhirat itu yang sebenarnya hidup dan kehidupan jikalau mereka mengetahui”. ( Al-Ankabut 64)

The end

Kutulis ulang dengan air mata berderai dan hati yang sesak. Sesak karena aku tak tahu sesiap mana aku bisa menjemput maut. ~Azizah Maulida~

3 komentar:

Unknown mengatakan...

sedih bgt ceritanya cil ay... jadi gemetar saya yg tinggal jauh dr orang tua ini... terkadang orang tua sakit dan aq benar2 merasakan jadi anak tak berguna karena baru tau beliau sakit 2-3 hari setelahnya... semoga orang tua kita di beri kesehatan oleh Allah.. amin

Adib Khoirul Umam mengatakan...

emang benar. ini yang selalu saya takutkan.

mi..... bi.......
What I am do withaut u.......

Nikahkan gue segera ya mi... bi.....
he......

Unknown mengatakan...

molly aku nangis nangis oh..gini tah kisahnya detail dan memilukan

Mengenai Saya

Foto saya
Apalah arti sebuah nama, tapi ternyata nama sangatlah berarti. siapa nama anda dan bisa jadi kehidupan anda adalah seperti nama anda,,,

Entri Populer

Followers

Daftar Blog Saya