Rindu Itu,,,


Aku tidak mengerti, mengapa seharian ini
banyak perasaan berkecamuk dalam hati. Lama sudah blog ini tak pernah kusentuh.
Sekedar menyematkan jemari, menuliskan segala isi hati.
Tuhan, bukan maksud hati menggugat takdir. Tapi rindu ini selalu menyeruak tanpa tepi. Tuhan, bukan maksud hati menggugat takdir. Tapi rasa ini begitu kuat merobek relung hati.
Tuhan, bukan maksud hati menggugat takdir. Tapi rindu ini selalu menyeruak tanpa tepi. Tuhan, bukan maksud hati menggugat takdir. Tapi rasa ini begitu kuat merobek relung hati.
Kadangkala aku tak tahu apa yang bisa
membuatku bahagia? Tawa itu menyemai, senyum itu lepas. Apakah itu bisa
dikatakan bahagia? Akupun tak tahu karena di sisi lain, tiba-tiba ruang terasa
begitu hampa dan keramaian terasa sepi.
Hari ini, kulihat banyak kabar dari para
mahasiswa UIN. Mereka bergembira menyambut wisuda. Seluruh keluarganya pun
berdatangan hingga tebersit dalam hati, “Saat aku wisuda, siapa yang akan
menghadiri?” Ah, tapi kutepis perasaan bodoh itu. Sudah kutepis, tapi saat
melihat teman sendiri begitu termotivasi setelah ditelpon ibu mereka, aku pun
hanya bisa menggigit bibir. Rindu itu menyeruak. Ingin sekali kudapat motivasi
itu. Tapi nyatanya hidupku masih terasa hampa. Apa sebab?
Kali ini aku sadar bahwa aku terlalu
rindu dengan kata “Keluarga”.
Jika kemudian banyak orang berkata, “Kau
masih punya kakak!”. Ya, aku masih punya kakak yang sudah memiliki keluarga
kecilnya masing-masing. Kakak adalah kakak dan tak akan pernah bisa menjadi ibu
bagi kita.
Maka, saat catatan ini kutulis. Kalian yang
masih punya orang tua haruslah bersyukur. Mereka adalah harta kalian yang
paling berharga. Bahkan amarahnya suatu saat akan menjadi hal yang paling
dirindukan.
Ini fakta, saat ayah tiada, materilah
yang terasa. Tapi, saat ibu tak ada, psikologismulah yang akan sedikit
terguncang. Sebelum semua itu datang pada kalian, bahagiakan mereka agar tak ada
penyesalan yang tersisa.
Kalian tahu, betapa aku rindu dengan
perhatian kecil seorang ibu walau hanya dengan perkataan, “Bagaimana kuliahmu
Nak? Makan apa? Belajar yang rajin!” dan aku pun merindukan ayah yang tanpa
kata, tanpa suara mengirimkan banyak fasilitas tak terduga. Dan saat kurasakan lagi, ternyata
aku lebih rindu pada marah mereka kepadaku. Amarah yang muncul, saat anaknya
sudah salah melangkah. Sekarang aku pun tak tahu, bagaimana langkahku. Saat sudah
tak tahu kemana arah, aku tak dapat bertanya pada mereka kemanakah aku harus
pergi. Saat aku tak tahu apa yang harus kulakukan, aku tak dapat bertanya pada
mereka tentang nasihat yang harus kujalani.
~Rabbii… titip rindu untuk ibu dan ayah, dan hanya Engkaulah yang punya kuasa untuk selalu mengarahkaku pada jalan
ridhoMu~
Langganan:
Postingan (Atom)