Entahlah


Malam ini aku tidak
bisa tidur. Dari jam lima sore aku memerhatikan layar laptop, meneruskan novel.
Membuat novel adalah pekerjaan yang kusukai. Tapi sebenarnya dari dulu aku
menulis novel sebagai pelampiasan hati. Melampiaskan emosi yang tidak bisa
kukeluarkan. Contohnya saat ujian nasional aku tidak lulus. Aku menuliskan
kemarahan dan kesedihanku. Namun emosiku itu kubentuk dalam sebuah novel. Itulah
yang kulakukan. Menulis untuk menerapi jiwaku yang terbungkus oleh emosi
terpendam. Namun novel kali ini bukan pelampiasan emosiku, melainkan
rancanganku dan temanku untuk sebuah novel yang akan kami ikutkan dalam sebuah
lomba.
Malam ini kepalaku
sakit, karena aku menahan sesak. Aku tak tahu kepada siapa aku harus bercerita.
Tiap malam juga sudah kulakukan, menjerit menyebut nama Tuhan. Aku berkali-kali
berdoa, berkali-kali beristighfar. Tapi rasanya kepalaku mau pecah. Terlalu banyak
gejolak emosi dalam diriku.
Sudah dua minggu ini
kakakku tidak menelponku. Aku tahu, beliau pasti sibuk dengan ponakan baruku. Waktu
kakak melahirkan, aku coba telepon beliau namun kakak ipar yang angkat. Setelahnya
kakak telpon balik, tapi tidak bisa berbicara banyak karena anaknya yang baru
lahir tiba-tiba menangis. Jadilah pembicaraan kala itu terpotong. Kakak berjanji
untuk menelponku, tapi beliau tidak menelpon juga. Ini membuatku sedih.
Aku tahu aku harus
bahagia dengan kelahiran ponakan. Tapi sejujurnya lahirnya ponakan membuatku
justru tambah merasa kesepian. Aku harus menghadapi kenyataan bahwa perhatian
kakakku yang pertama tak akan seperti dulu lagi. Itu sudah bisa kuprediksi. Tapi
aku lebih tak mau jika ponakan tak ada. Itu akan membuat kakakku tidak bahagia.
Kakak dan suaminya sudah menanti bayi itu lima tahun lamanya. Penantian yang
lama dan panjang.
Aku tak bisa berdiri
sendiri. Kadang aku bingung menentukan jalan untuk masa depanku. Apa rencanaku
setelah lulus nanti. Berbagai rencana muncul dengan banyak opsi. Aku tak tahu
dan semua itu masih tak pasti. Aku bingung, aku tak tahu arah dan aku tak tahu
tempat bertanya. Aku tak mungkin mengeluhkan semua ini kepada kakakku. Itu tak
mungkin. Mereka sudah cukup jengah dengan keluhanku. Mereka tak akan suka
dengan keluhanku. Tapi disini aku sendiri, tak mengerti. Aku sungguh tak tahu
jalan mana yang harus kutiti. Kakak tidak pernah mengarahkanku, tapi dia
seringkali meragukan mimpiku. Namun saat aku bertanya sebaiknya bagaimana, tak
pernah ada jawaban dari mereka. Itu membuatku tenggelam dalam keputus asaan. Aku
berontak dengan tekadku, tapi sesungguhnya aku lemah. Sesungguhnya aku
benar-benar lemah. Aku tak bisa berdiri sendiri. Itu sulit.
Rasanya aku berada
dalam dua jalan yang benar-benar membuatku lelah. Jika aku mengikuti keinginan
kakak yang tak jelas arahannya, aku akan lelah. Namun, jika aku bertahan dengan
keputusanku, aku pun lelah. Aku lelah berdiri sendiri, tanpa ada orang yang
peduli. Aku tak mengerti kepada siapa aku harus mengadu. Sesak dadaku malam
ini. Rindu ayah ibu menyeruak hati.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
Tetap fokus dengan cita-cita anda mbak Maulida,,saya sudah baca sebagian tulisannya,,,you've talent as writer,,,keep spirit y
Posting Komentar